Lompat ke isi

Keracunan histamin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Keracunan histamin atau yang bisa juga dikenal sebagai keracunan scombroid termasuk salah satu bentuk dari keracunan paling umum terjadi di seluruh dunia dan merupakan bahaya keamanan bawaan pangan atau foodborne illness yang disebabkan oleh produk ikan. Jenis ikan yang paling sering terlibat adalah dari famili Scombridae (tuna dan makarel) dan beberapa kerabat non-scombroid (bluefish, lumba-lumba atau mahi-mahi, dan amberjack).[1]

Keracunan terjadi akibat dari mengonsumsi makanan yang mengandung kadar histamin tinggi dan tidak mampu ditoleransi oleh tubuh. Gejala yang ditimbulkan mirip dengan gejala alergi yang terjadi secara umum pada orang yang mempunyai hipersensitivitas terhadap stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang normal.[2]

Histamin adalah senyawa amin biologis heterosiklik primer aktif yang terbentuk saat fase postmortem pada daging ikan famili scombroid dan non-scombroid yang banyak mengandung histidin bebas akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase.[3] Histamin juga merupakan komponen yang tidak larut air dan salah satu amin biogenik yang mempunyai pengaruh terhadap fisiologis manusia. Kadar histamin pada ikan dapat dipakai sebagai indikator sanitasi dan hygiene. Walaupun pada kadar 20 mg persen belum menimbulkan keracunan tetapi dengan histamin sebesar 20 mg persen tersebut mencerminkan penanganan/ pengolahan yang tidak higienis. Sedangkan bila kadar histamin ≥ 100 mg persen biasanya menyebabkan keracunan bila dimakan. Untuk orang-orang yang sensitif dengan kadar 50 mg persen sudah dapat merasakan adanya keracunan.[4]

Metode analisis

[sunting | sunting sumber]

Metode standar yang dapat digunakan dalam melaksanakan pengukuran kuantitatif kadar histamin di antaranya yaitu:[5]

Spektrofluorometri

[sunting | sunting sumber]

Metode spektrofluorometri merupakan metode dasar pengukuran histamin yang menggunakan instrumentasi seperti HPLC. Prinsip dari pengukuran ini adalah analisis serapan fluorosensi dari derivatisasi histamin dan o-phthaldialdehyde (OPA) yang memberikan daya fluorosensi pada panjang gelombang 330 nm (eksitasi) dan 440 nm (emisi). Selain itu, metode spektrofluorometri juga melibatkan tahapan pemurnian histamin dari amina biogenik lainnya menggunakan kolom penukar ion karena OPA juga dapat bereaksi dengan amina biogenik lain yang terbentuk bersama dengan histamin.

High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

[sunting | sunting sumber]

HPLC memiliki dua cara berdasarkan detektornya. Pertama adalah dengan menggunakan fluorosensi sedangkan yang kedua dengan menggunakan ultraviolet. Pada metode yang menggunakan fluorosensi, senyawa histamin diderivatisasi menggunakan OPA, sedangkan yang menggunakan UV direaksikan dengan dansyl clorida (DC).

Capillary Electrophoresis/Capillary Zone Electrophoresis (CE/CZE)

[sunting | sunting sumber]

Dalam metode CE/CZE, histamin akan dipisahkan dari amina biogenik lain dalam kolom kapiler sebelum dideteksi oleh detektor. Setelah proses ekstraksi, aliquot sampel dapat langsung diinjeksikan ke sistem kerja. Pada sistem CE, pemisahan dilakukan berdasarkan mobilitas sampel dalam bentuk ionik di medan listrik

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

[sunting | sunting sumber]

Metode ELISA didasarkan pada penggunaan enzim untuk mendeteksi ikatan sampel terhadap antigen (Ag) dan antibodi (Ab). Enzim akan mengubah substrat yang tidak berwarna (kromogen) menjadi produk berwarna. Perubahan ini menunjukkan ikatan sampel terhadap Ag:Ab. Spektra warna tersebut dibaca absorbansinya pada panjang gelombang tertentu. Nilai absorbansi ini akan berbanding terbalik dengan konsentrasi histamin yang terkandung di dalamnya. Metode ini cukup kompleks, namun tidak melibatkan pemisahan serta dapat bekerja dalam skala kecil (mikroliter) dalam 96 well-plate, sehingga mampu menganalisis banyak sampel pada satu kali pembacaan detektor.

Tanda dan gejala

[sunting | sunting sumber]

Histamin merupakan modifikasi dari asam amino yang mengakibatkan alergi dengan gejala yang sama seperti alergi pada umumnya, seperti sulit bernapas, kulit merah atau panas, gatal-gatal, dan mata berair.[6] Setelah mengonsumsi makanan yang mengandung tinggi histamin, biasanya gejala dapat menjadi jelas dalam beberapa menit hingga 2 jam, namun akan berlangsung kurang lebih 4 hingga 6 jam dan melebihi dari satu sampai dua hari.[1]

Gejala ringan

[sunting | sunting sumber]

Tanda-tanda awal keracunan histamin menunjukkan respons alergi seperti biasa, seperti:

  • wajah memerah dan berkeringat
  • sensasi rasa pedas seperti terbakar di mulut dan tenggorokan
  • pusing
  • mual
  • sakit kepala

Gejala sedang

[sunting | sunting sumber]

Gejala awal dapat berkembang menjadi

  • ruam wajah yang persisten
  • gatal-gatal (urtikaria)
  • edema
  • diare jangka pendek
  • kram perut

Gejala berat

[sunting | sunting sumber]

Pada kasus yang parah dapat menimbulkan gejala berupa

  • penglihatan kabur
  • menyebabkan stres pernapasan
  • pembengkakan lidah[1]

Keracunan histamin akan timbul jika seseorang mengonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 g ikan. Ikan dengan kandungan histamin lebih dari 20 mg/100 g ikan sudah tidak boleh dikonsumsi. Tingginya kadar histamin disebabkan oleh ikan yang sudah tidak segar karena tidak segera ditangani dan diolah, misalnya ikan sudah terlalu lama ditangkap dan tidak segera dibekukan. Peningkatan kadar histamin dapat timbul akibat terjadinya proses dekarboksilase. Prekursor terbentuknya histamin dipengaruhi oleh enzim histidin dekarboksilase dari bakteri yang dikatalis adanya peningkatan suhu. Enzim histidin dekarboksilase akan mengubah histidin menjadi histamin yang dipengaruhi oleh suhu, sehingga makin tinggi suhu ikan maka proses dekarboksilase oleh enzim histidin dekarboksilase akan makin cepat.[7]

Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin, kadaverin, serta spermidin dan spermin.[8] Penyebab utama dari penurunan mutu tersebut adalah minimnya fasilitas dan cara penanganan yang tidak benar baik di atas kapal maupun di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).[9] Pengolahan yang kurang tepat juga dapat mempercepat peningkatan kadar histamin pada ikan, adanya bagian isi perut yang tidak dibersihkan ketika pertama kali ditangkap dapat mempercepat pertumbuhan bakteri yang menyebabkan pembentukan histamin.

Pencegahan

[sunting | sunting sumber]

Kontrol temperatur yang memadai merupakan kunci untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan pembentukan histamin. Pada dasarnya menurunkan suhu ikan dapat mencegah dan memperlambat proses penurunan mutu ikan. Batas suhu terendah yang optimum pada setiap ikan untuk pembentukan histamin bervariasi. Nilai suhu ikan yang tertangkap dengan pancing ulur berkisar antara 10o C. Sebaiknya ikan harus disimpan pada suhu 0 °C atau di bawah 0 °C karena pada suhu yang cukup tinggi, hanya beberapa jam saja bakteri pada ikan dapat berkembang biak, misalnya histamin dapat terbentuk dalam 2 hingga 3 jam pada ikan yang disimpan pada 20o C atau lebih besar.[9] Pengurangan jumlah bakteri juga dapat dilakukan dengan pengeluaran isi dan pembuangan insang, tetapi tidak dapat menghilangkan seluruh bakteri pembentuk histamin tersebut. Karena pada dasarnya, setelah kematian mekanisme pertahanan ikan tidak lagi menghambat pertumbuhan bakteri di jaringan otot, sehingga dapat dicegah dengan pengepakan rongga visceral dengan es yang akan membantu mendinginkan ikan besar di mana suhu otot internal tidak mudah dikurangi. Namun, bila dilakukan dengan tidak tepat, langkah-langkah tersebut dapat mempercepat proses perkembangan histamin pada bagian ikan yang dapat dimakan dengan menyebarkan bakteri dari rongga visceral ke daging ikan.[10]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Nutrition, Center for Food Safety and Applied (2020-06-16). "Scombrotoxin Poisoning and Decomposition". FDA (dalam bahasa Inggris). 
  2. ^ Santoso, Agung; Palupi, Nurheni Sri; Kusumaningrum, Harsi D. (2020-07-21). "PENGENDALIAN HISTAMIN PADA RANTAI PROSES PRODUK IKAN TUNA BEKU EKSPOR". Jurnal Standardisasi. 22 (2): 131–142. doi:10.31153/js.v22i2.814. ISSN 2337-5833. 
  3. ^ Korashy, T.; Farag, M. (2005). "Histamine and Histamine Producing Bacteria in Some Local and Imported Fish and Their Public Health Significance". undefined (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-01. 
  4. ^ Sulistijowati S., et all. 2011. Mekanisme Pengasapan Ikan. Bandung: UNPAD Press. ISBN 978-602-8743-86-0
  5. ^ Januar, H. I. (2009). Perbandingan Beberapa Metode Analisis Histamin untuk Produk Perikanan. Squalen Bulletin of Marine and Fisheries Postharvest and Biotechnology, 4(2), 48-54.
  6. ^ Mitchell, L. S. (2013). Pengaruh Suhu Dan Waktu Penyimpanan Terhadap Peningkatan Kadar Histamin Pada Ikan Tongkol. Skripsi, 1(811409089).
  7. ^ Grant, S. (2004). Prevent Scombrotoxin Poisoning. Dalam National Sea Grant College [Online] Tersedia: https://www.seagrantfish.lsu.edu/pdfs/IceYourFish.pdf. [28 Juni 2021].
  8. ^ Sofiani, S. N. (2014). Analisis Kadar Histamin Dengan Metode Spektroflorometer Pada Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Dengan Perlakuan Waktu Penyimpanan (Doctoral dissertation, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Bandung (UNISBA)).
  9. ^ a b Nazrah. 2015. Pengruh Cara Penangkapan Dan Penanganan Terhadap Peningkatan Kadar Histamin Ikan Cakalang Di Perairan Teluk Bone. Tesis. Universitas Hasanuddin. Makassar.
  10. ^ Visciano P, Schirone M, Tofalo R, Suzzi G. Biogenic amines in raw and processed seafood. Front Microbiol. 2012 Jun 4;3:188. doi: 10.3389/fmicb.2012.00188. PMID 22675321; PMCID: PMC3366335.